Ambon, Tribun Maluku. Aktivitas tambang emas ilegal di kawasan Gunung Botak, Desa Dava, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru, kembali menjadi sorotan publik.
Masyarakat dan sejumlah pemerhati lingkungan mendesak Pemerintah Provinsi Maluku agar segera bertindak serius dan konsisten dalam menindaklanjuti instruksi resmi yang dikeluarkan Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa.
Gubernur Maluku melalui Surat Nomor 500.10.2.3/1052 tertanggal 19 Juni 2025 telah menginstruksikan Kapolda Maluku bersama Polres Pulau Buru untuk menertibkan aktivitas tambang emas ilegal di Gunung Botak.
Surat tersebut mengatur penyisiran wilayah tambang yang dimulai pada 28 Juli 2025 hingga waktu yang belum ditentukan. Namun, hingga kini belum ada langkah nyata di lapangan.
Ketua DPD Gerakan Sahabat Komenda (Gasmen Maluku), Abd. Rifki Derlen, mengecam sikap Pemerintah Provinsi Maluku yang dianggap setengah hati karena instruksi gubernur tidak diikuti dukungan anggaran.
Gubernur jangan hanya membuat surat instruksi lalu berhenti di atas meja. Persoalan tambang ilegal di Gunung Botak sudah lama menjadi keresahan masyarakat, karena menyangkut keselamatan lingkungan dan masa depan generasi di Buru.
“Kalau serius, anggaran harus disiapkan, operasi harus dilakukan, dan masyarakat harus dilibatkan,” tegas Derlen dalam pesan Whatsapp kepada Tribun Maluku.com, Sabtu (6/9/2025) di Ambon.
Derlen mengingatkan, jika penertiban terus dibiarkan tanpa aksi nyata, maka muncul anggapan bahwa pemerintah daerah justru membiarkan atau bahkan mengambil keuntungan politik dari aktivitas tambang ilegal tersebut.
Gasmen Maluku berjanji terus mengawal persoalan ini agar rakyat Buru tidak menjadi korban lemahnya keberanian pemerintah provinsi dalam menegakkan aturan.
Kawasan Gunung Botak selama ini menjadi pusat aktivitas tambang ilegal yang memicu kerusakan lingkungan, pencemaran sungai dengan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida, potensi konflik antarpenambang, serta meningkatnya kriminalitas.
Meski surat instruksi sudah jelas dan tegas, aparat kepolisian belum dapat bergerak maksimal karena minimnya dukungan anggaran operasional dari Pemprov Maluku.
Kondisi ini membuat masyarakat menilai instruksi gubernur hanya sebatas formalitas tanpa keseriusan pelaksanaan.
Kritik keras juga datang dari tokoh masyarakat Kabupaten Buru yang menilai penertiban tambang ilegal seolah dibebankan sepenuhnya kepada Polres Pulau Buru.
Padahal, pembiayaan operasional semestinya menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi melalui Dinas ESDM Maluku, sementara polisi bertugas memberikan dukungan pengamanan.
“Tidak bisa hanya mengeluarkan surat lalu menyerahkan semua tanggung jawab ke Polres. Bagaimana polisi bisa bergerak kalau anggarannya tidak ada? Ini menunjukkan Pemprov tidak serius,” ujar tokoh masyarakat tersebut.
Hingga kini, ribuan penambang rakyat masih aktif beroperasi di Gunung Botak menggunakan metode tradisional dan peralatan berbahaya yang berdampak buruk terhadap ekosistem.
Penggunaan merkuri dan sianida mencemari sungai di sekitar kawasan, mengancam kesehatan masyarakat.
Gunung Botak disebut sebagai “bom waktu” yang dapat memicu kerusakan lingkungan, konflik sosial, hingga masalah hukum dan keamanan jika tidak segera ditertibkan.
Mahasiswa, organisasi kepemudaan (OKP), dan LSM Maluku berharap Gubernur Hendrik Lewerissa menegaskan kembali komitmennya dengan mengalokasikan anggaran operasional yang jelas, membentuk tim terpadu bersama kepolisian, TNI, dan instansi terkait, serta melakukan pengawasan berlapis agar tidak ada lagi penambang ilegal yang kembali masuk.
“Surat itu sudah keluar, tapi sampai sekarang tidak ada wujudnya. Kalau memang serius, tunjukkan dengan aksi nyata di lapangan. Jangan sampai masyarakat menilai Pemprov hanya bermain politik di atas penderitaan rakyat,” pungkas Derlen.
Situasi ini menegaskan bahwa tanpa keseriusan Pemerintah Provinsi Maluku, instruksi penertiban hanya menjadi catatan administrasi tanpa makna, sementara kerusakan lingkungan dan praktik tambang ilegal terus berlanjut di Gunung Botak.






