Ambon, Tribun-Maluku.com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Ambon terindikasi melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap salah satu penghuni Lembaga Pemasyarakat (Lapas) di wilayah itu.
Penghuni lapas di maksud, Aziz Fidmatan yang sementara ini menjalani masa tahanan pasca putusan Majelis Hakim di tingkat Mahkamah Agung (MA) nomor 447 K/Pid. Sus/2017 yang menjatuhkan vonis penjara 2 tahun terhadap dirinya.
Fidmatan membeberkan sejumlah perlakuan tak adil yang diterimanya dari pihak PN Tipikor Ambon. Salah satunya, berkaitan dengan salinan putusan lengkap yang belum diterimanya hingga jelang hari bebas pada 12 Mei mendatang.
“Sejak diputus MA pada April 2017 sampai hari ini, salinan itu tidak pernah diberikan kepada saya. Coba pak (wartawan, red) lihat, sudah satu tahun lebih salinan itu tidak juga diberikan kepada saya.
Ada apa ini, apakah ini bukan pelanggaran HAM,” kesalnya sembari menunjukkan surat petikan putusan kepada kru media ini, saat ditemui di Lapas Kelas IIA Ambon, belum lama ini.
Kekesalan terlihat di wajah Fidmatan mengingat dirinya telah bersurat secara resmi hingga dua kali ditambah upaya keluarganya yang telah beberapa kali datang meminta secara pribadi ke pihak PN Tipikor Ambon.
“Tapi tak juga diberikan, saya heran apa mau mereka. Tidak cukupkah mereka perlakukan saya secara tidak adil,” kecamnya.
Fidmatan mengaku begitu geram, mengingat sejumlah upaya mencari keadilan atas kasus hukum yang ditimpakan kepadanya akhirnya terkendala hingga saat ini diakibatkan tak adanya salinan putusan di tangannya sebagai pelengkap berkas untuk ditindaklanjuti.
“Yang pertama dan paling menyakitkan adalah saya terhambat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas kasus saya ini. Itu yang pertama, makanya sekali lagi saya tegaskan bahwa PN Tipikor Ambon sudah melanggar HAM saya, mereka tidak boleh mengelak,” tegasnya.
Fidmatan mengaku berpegang pada KUHAP termasuk UU MA Tahun 1985 yang mengatur bahwa salinan paling lambat diterima 30 hari setelah putusan dijatuhkan.
Kemudian, upaya hukum lainnya yang dilakukan Fidmatan pun akhirnya turut terkendala.
“Saya sudah bersurat ke mana-mana untuk meminta agar masalah saya ini diperhatikan karena terlalu banyak rekayasa dalam kasus yang saya hadapi ini. Tapi semua laporan saya tidak bisa ditindaklanjuti karena tak ada bukti salinan putusan, itu alasannya,” bebernya lagi.
Fidmatan kemudian menyebut sejumlah institusi seperti Sekretaris Negara RI, Dewan Pengawas MA, DPR RI Komisi III, Komisi Yudisial RI, Komisi Kejaksaan RI, Komnas HAM RI dan perwakilan di Maluku, serta Ombudsman RI dan perwakilannya di Maluku.
“Siapa yang tidak kecewa dengan perlakuan institusi penegak hukum seperti ini. Apakah karena kami tidak bayar sehingga mereka sengaja tidak menyerahkan itu kepada kami. Kalau butuh uang, bicara terbuka saja berapa harus kami bayar. Jangan halangi saya dengan cara-cara yang tidak bermoral seperti ini,” kembali kecamnya.
Fidmatan kembali menegaskan bahwa apa yang dialaminya benar-benar adalah sebuah rekayasa alias pesanan.
“Sebagaimana vonis Majelis Hakim di tingkat banding PT Ambon yang jelas-jelas Hoax, hal yang sama juga berlaku atas vonis di tingkat PN Ambon. Semua hanya rekayasa karena didasari bukti-bukti palsu. Orang tidak korupsi malah dibilang korupsi, bangun sekolah uang kurang lalu rogoh kocek sendiri malah dituntut harus ganti kerugian negara, negara mana yang rugi? Benar-benar rekayasa alias pesanan,” kecamnya bertubi-tubi.
Fidmatan juga ingatkan, siapa pun oknum atau pihak yang melakukan rekayasa jahat terhadap dirinya dan kedua rekannya tak akan pernah melenggang bebas.
“Satu waktu nanti anda akan kena batunya, saya sangat meyakini itu, Allah Maha Besar,” tukasnya.
Sementara terkait pelanggaran HAM yang dilontarkan ke institusi, Wakil Ketua PN Ambon, Pasti Tarigan, SH, MH yang dikonfirmasi media ini, terkejut dengan apa yang dialami Fidmatan dan tak membantah indikasi itu.
“Menurut ketentuan biasanya setelah putus itu ada petikan putusan, itu kami sampaikan langsung kepada Jaksa dan Jaksalah yang menyampaikan kepada terdakwa, ada juga ke Kalapas kami sampaikan,” terangnya.
Tarigan menyesalkan adanya kelalaian jajarannya sehingga menyebabkan vonis salah satu terpidana tak juga diberikan hingga jelang bebas meski telah menyurati secara resmi bahkan mendatangi langsung ke PN Tipikor Ambon melalui keluarga.
Ia pun menegaskan bahwa seluruh salinan putusan setiap perkara bisa diminta kapan saja, karena PN Ambon sendiri telah memberlakukan pelayanan secara online.
“Sekarang kalau dia mau putusan tinggal minta di PTSP dan pelayanan kita terpadu sekarang sejak 2017 lalu sudah mulai pelayanan di depan. Semua tidak ada lagi yang ke ruangan, tinggal minta di situ langsung dilayani semua,” sambung Tarigan.
Salinan putusan yang diambil secara online pun mempunyai kekuatan hukum yang sama karena sebelum diserahkan terlebih dahulu dibubuhi tanda tangan Panitera setempat dan cap resmi PN Tipikor Ambon.
“Dan pemberitahuan putusan itu ada anggarannya sehingga sudah harus kita sampaikan tidak mungkin tidak sampai karena itu sudah kewajiban kita, kita menyampaikan itu melalui juru sita sehingga tidak mungkin kita tahan-tahan,” bebernya lagi.
Tarigan kembali menegaskan, pelayanan Pengadilan saat ini terbuka sehingga ia terkejut mendengar ada narapidana yang hingga jelang bebasnya salinan putusannya tak juga diberikan.
“Jadi kalau ada yang main-main di bawah itu, tolong diberitakan saja. Kami juga berusaha bekerja sesuai aturan yang berlaku yang ditetapkan baik melalui undang-undang, surat edaran dan peraturan Mahkamah Agung,” tegasnya.
Meski diakui Tarigan, pihaknya telah berusaha semaksimal mungkin dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat namun terkadang juga lalai.
“Bisa juga kami diingatkan dan biarlah kami sekali-sekali masuk koran, karena bisa saja kita sudah berusaha melayani sebaik mungkin. Tapi kami pun perlu di koreksi, jangan hanya dieluk-elukan kita pun ingin dikoreksi juga ya. Kalau memang kami lalai maka kami harus diingatkan. tidak alergi lah dengan pemberitaan seperti itu karena ini untuk pembenahan kita di dalam dan juga bagi masyarakat Ambon,” imbuhnya.
Tarigan kembali menegaskan bahwa pengambilan putusan di PN Ambon tidak dikenakan biaya karena sudah ada dalam putusan MA.
Majelis Hakim di tingkat MA RI sebelumnya mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Aziz Fidmatan, S.Sos dan Drs. Saifuddin Nuhuyanan yang tergabung dalam Panitia Pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) SMA Tayando, Kota Tual pada kasus dugaan korupsi pembangunan fasilitas pendidikan tersebut.
Majelis Hakim dalam putusannya nomor 447 K/Pid. Sus/2017 mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan pemohon atas nama Aziz Fidmatan serta membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Tinggi Ambon Nomor 21/Pid.Sus-TPK/2016/PT Amb tertanggal 3 November 2016.
Hal yang sama juga berlaku untuk Saifuddin Nuhuyanan namun dengan nomor putusan yang berbeda.
Pemprov menganggarkan dana senilai Rp 1.240.000.000,- yang dialokasikan untuk pembangunan 1 USB SMA Tayando yang berasal dari Dana Dekonsentrasi Dinas Pendidikan Provinsi Maluku.
Kemudian, Sharing Dana dari Pemkot Tual sebesar 25 persen sebesar Rp310 juta.
Dalam surat dari Dinas P dan P Provinsi Maluku bernomor. 25.11/033/08 tertanggal 12 0ktober 2008 merincikan anggaran berupa dana konstruksi sebesar Rp 910 juta yang dialokasikan untuk pembangunan 3 RKB, 1 kantor, 1 perpustakaan, 1 laboratorium, 1 WC siswa dan 1 WC guru.
Kemudian biaya perencanaan pengawasan (Rp 90 juta), meubelir (Rp 140 juta) sebanyak sepaket, Buku teks (Rp 50 juta) sebanyak 1 paket dan alat IPA sebesar Rp 50 juta juga sepaket.
Pemkot Tual kemudian mengeluarkan SK dengan nomor 421.3/51C/28/2008 tertanggal 15 Oktober 2008 memerintahkan pembentukan panitia pembangunan USB SMA Tayando Kota Tual. SK ditandatangani oleh Wakil Wali Tual saat itu, Adam Rahayaan, S.Ag.
Setelah pembentukan panitia yang terdiri Kepala Dinas Pendidikan Kota Tual, Saifuddin Nuhuyanan selaku Penanggung Jawab, Akib Hanubun selaku Ketua panitia pembangunan dan Aziz Fidmatan selaku bendahara panitia, pekerjaan kemudian mulai dilaksanakan sejak November 2008 hingga September 2009.
Namun sesudah itu, pembangunan terhenti dengan sisa pekerjaan berupa pemasangan keramik di semua ruangan, walaupun keramiknya sudah disiapkan oleh panitia di lokasi pembangunan sebanyak 385 dos karena kehabisan uang. Juga, ada beberapa bagian lainnya.
Anehnya lagi, hingga kasus ini diproses hukum, Pemkot Tual tidak juga mencairkan Dana Sharing Rp310 juta.
Meski belum rampung 100 persen, sejak Januari 2010, sekolah sudah digunakan untuk proses belajar mengajar hingga menghasilkan lulusan 5 angkatan.
Bangunan akhirnya rampung pada 2015 setelah Panitia dengan terpaksa merogoh kocek sendiri hingga ratusan juta rupiah guna menutupi dana sharing yang tidak juga dicairkan Pemkot Tual untuk menuntaskan pekerjaan pembangunan.
Ironisnya, pada 2016, pihak Kejaksaan Negeri Tual malah melakukan proses hukum kepada panitia pembangunan USB SMA Tayando atas laporan pengaduan masyarakat yang hingga saat ini tidak diketahui sumbernya dari mana.
Belum lagi aksi pemerasan ratusan juta rupiah dilakukan oleh Kepala Kejari Tual saat itu, Ahmad Fatoni, dan sejumlah bawahannya kepada Penanggung Jawab Panitia, Saifudin Nuhuyanan hingga ratusan juta dengan sejumlah bukti transfer.
Penetapan ini juga, atas perintah Kepala Kejari Tual, Bambang Marwoto yang saat itu menggantikan Ahmad Fatoni. Sementara sejak 2 Desember 2013, Ketua Panitia Akib Hanubun telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.
Dan menyusul penahanan keempat tersangka pada Januari, Februari dan Maret 2016 di Rutan Kelas IIA Waiheru Ambon hingga proses sidang dan vonis di Pengadilan Tipikor pada PN Ambon.
Terkait indikasi bukti-bukti palsu atau rekayasa tersebut, Panitia SMA Tayando telah melaporkan ke sejumlah institusi seperti Komisi Kejaksaan RI, Komisi Yudisial RI, Komnas HAM RI, Komisi III DPR RI, Jamwas Kejagung RI, Dewan Pengawas MA hingga Sekretariat Negara RI dan telah ditindaklanjuti.