Ambon, Tribun-Maluku.com : Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, menjadi payung dalam kerja jurnalis dan perusahaan media. Keberadaan UU ini tak hanya mengatur tentang kebebasan pers, tapi juga berisi kewajiban seorang jurnalis dan media dalam menjalankan tugas jurnalistik.
Hal ini disampaikan Dr. Pahrul Idham Kaliky, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP – Unpatti di Ambon, Kamis (29/4/2021).
Kata dia, dengan UU yang bersifat lex spesialis, maka media bisa bekerja menyajikan informasi ke publik, tanpa harus diintimidasi, tidak bisa dihalangi, dan wajib memberikan informasi ke media.
Disamping itu, kata dia, UU Pers juga mengatur tentang bagaimana jurnalis melakukan peliputan, dengan wajib menaati kode etik jurnalis maupun kode etik wartawan Indonesia.
“Misalnya, seorang jurnalis harus menunjukan identitas saat menemui narasumber. Kemudian, jurnalis wajib menjalankan cek and ricek. Dan terpenting, objek berita yang akan ditulis, harus di konfirmasi. Konfirmasi itu sangat esensial, sebagai kewajiban jurnalis,” kata dia.
Dalam kasus Siwalima dengan Murad Ismail, kata dia, apakah media sudah melaksanakan kewajiban cek and balances apa belum? Kalau tidak pernah mewawancarai Murad Ismail terkait mobil pribadi, dan kemudian langsung menulis dengan hanya menggunakan sumber anonim, maka menuntut Murad Ismail untuk menggunakan hak jawab, juga keliru.
“Jangan menuntut hak jawab dari orang atau lembaga yang ditulis, sementara kewajiban pers tidak dilaksanakan sesuai UU Pers, yaitu dengan melakukan kross cek kepada objek berita. Konfirmasi narasumber, itu kewajiban jurnalis atau media dalam menjalankan UU Pers,” kata dia.
Menurut dia, seorang jurnalis berkewajiban menkonfirmasi narasumber, agar sifat cover both side itu berjalan. Jika ini sudah dilaksanakan, dan narasumber masih keberatan dengan pernyataannya, hak jawab bisa digunakan.
“Baiknya media penuhi dulu kewajiban melakukan konfirmasi. Kebiasaan menkonfirmasi akan jauh lebih penting. Saran saya, jangan dulu menulis sebelum narasumber dikonfirmasi,” ujarnya.
Menurut dia, kalau sudah ditulis dan narasumber merasa nama baiknya dicemarkan, itu juga masalah.
“Karena nama baiknya sudah dicemarkan lebih dulu, penggunaan hak jawab pun dianggap tidak akan mengklarifikasi pemberitaan yang pertama,” tandas dia.
Dia menyarankan, kebebasan pers dimaknai sebaik mungkin. UU Pers bukan hanya menjadi payung media untuk bebas menulis apa saja dan siapa saja, tanpa melalui mekanisme yang diatur dalam kode etik jurnalistik maupun UU itu sendiri.
Mantulameten : Pelaporan Atas Pemberitaan Tak Berdasar
Terpisah, kuasa hukum Siwalima Lauritzke Mantulameten mengatakan, tindakan Gubernur Maluku yang melaporkan Siwalima atas pemberitaan terkait pengadaan mobil dinas Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku, adalah sebuah tindakan yang tak berdasar.
Alasannya, Siwalima adalah perusahaan pers berbadan hukum yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik dan kantor berita yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi yang tepat, akurat dan benar sesuai Pasal 1 poin (2) UU No.40/1999 tentang Pers.
Menurut dia, pemberitaan yang disampaikan merupakan pemberitaan yang sah dan dilindungi oleh UU, karena dalam Pasal 4 UU Pers No.40/1999, Pers mempunyai hak untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi yang didapat.
“Sebab salah satu fungsi pers adalah sebagai media informasi dan kontrol sosial terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,” ujarnya seperti yang dilansir dari Siwalima.
Tindakan pelaporan oleh Gubernur Maluku terkait pemberitaan Siwalima, lanjut dia, sangat berpotensi mengancam kebebasan pers dan menghambat terpenuhinya hak masyarakat untuk memperoleh berita dan informasi yang tepat, akurat dan benar.
Andaikata terdapat keberatan terhadap pemberitaan, lanjut Matulmeten, maka semestinya Gubernur Maluku menempuh mekanisme yang diatur dalam UU Pers No.40/1999 untuk melakukan Hak Jawab dan Hak Koreksi terhadap pemberitaan tersebut, apabila merasa dirugikan oleh pemberitaan tersebut.
Selanjutnya bila mekanisme tersebut tidak menyelesaikan masalah pemberitaan dimaksud, maka Gubernur Maluku dapat mengadukan Siwalima ke Dewan Pers untuk dilakukan mediasi.
“Nantinya Dewan pers yang berwenang menilai apakah pemberitaan tersebut melanggar kode etik jurnalis ataukah tidak, prosesnya harus begitu di negara Republik Indonesia ini, bukan semena-mena melaporkan Siwalima ke pihak kepolisian,” ujarnya.
Matulamten juga mengatakan, pihak kepolisian dalam menerima aduan dan atau laporan terkait pemberitaan media, tidak dapat secara langsung menerima pengaduan/pelaporan tersebut.
“Bila ada terdapat laporan kasus sengketa pemberitaan media, kepolisian semestinya mengarahkan pengadu/pelapor untuk menempuh hak jawab,” ujarnya.